Saya menggunakan beberapa kata kasar dalam artikel ini.
Karena tidak ada kata yang lebih halus yang bisa mengekspresikan apa yang saya
maksud. Pada beberapa bagian saya memang sangat emosional. Harap maklum.
Di negara tercinta kita Indonesia yang menjunjung Bhinneka
Tunggal Ika, pergaulan di lingkungan yang majemuk tidak mungkin dihindari.
Hampir semua orang punya teman, kenalan, atau siapa pun yang berbeda di
lingkaran mereka. Baik itu asal, adat, etnis, maupun agama. Di lingkungan
sekolah umum, tempat tinggal, atau di lingkungan kerja, hal tersebut merupakan
sesuatu yang sangat lumrah.
sesuatu yang sangat lumrah.
Saya, kamu, mereka, pasti punya teman yang ‘berbeda’. Tapi
yang tidak pernah terduga, bila teman yang berbeda itu kemudian memiliki tempat
yang istimewa bagi kita. Lebih istimewa dari sekedar teman.
Awalnya mungkin biasa saja, tapi lama-kelamaan semakin dalam
dan rasanya.. duh, nggak bisa terbendung. Saya pernah mengalami kejadian ini.
Rasanya sangat... mengerikan. Dan disini saya akan berbagi pengalaman pahit
ini, mudah-mudahan bisa jadi pelajaran untuk semua.
Semua terjadi begitu saja, mengalir dengan halus. Saya dan dia tidak pernah berpikir apa, kenapa, gimana ke depannya. Pertama kenal orang itu di awal-awal kuliah. Di usia saya itu, saya sama sekali belum bisa berpikir dewasa dan bijak, apa lagi mikirin konsekuensi dari hubungan tersebut. Pokoknya, ‘jalanin aja’ khas anak muda.
Hubungan itu berlangsung bertahun-tahun. Semakin lama
semakin dalam. Kami merasa sudah saling cocok. Kami pun mengucap janji akan
menikah, nanti setahun setelah saya lulus kuliah. Dan setelah ada pembicaraan
soal pernikahan itulah, kami mulai kebingungan. Bingung dengan ‘perbedaan’ yang
sudah kami bawa dari lahir. Kami sempat bercanda tentang ‘siapa yang akan ikut
siapa’. Sampai saya sadar itu bukanlah perkara yang patut dibercandakan. Dan
dia memutuskan, dia yang akan ‘ikut’ saya.
Saya tidak memaksa dia sama sekali. Saya bahkan
mewanti-wanti untuk tidak melanjutkan hubungan ini. Tapi dia meyakinkan, akan
melakukan apa pun asal bisa bersama saya. Duh ya, yang namanya perempuan..
pastilah meleleh.
Usia dia 7 tahun lebih tua dari saya. Dia adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab (sebetulnya). Dan usia yang agak jauh itu membuat saya merasa secure dan nyaman banget. Yah namanya juga lagi jatuh cinta, semuanya pasti terlihat baik. Yang nggak baik pun pasti kita baik-baikin dan berusaha menampik bahwa itu adalah kekurangan.
Semakin mendekati akhir perkuliahan, topik tentang
pernikahan semakin menjadi perbincangan yang biasa di antara kami. Dan
akhirnya, tibalah waktu yang dijanjikan, saya lulus kuliah. Saya bukan lagi
orang yang sama ketika saya menjalin hubungan ini. Saya sudah lebih dewasa.
Sambil menunggu wisuda, saya magang di sebuah perusahaan sebagai resepsionis.
Setelah tahun ketiga hubungan ini, banyak sekali masalah
yang terjadi. Dari akhir perkuliahan sampai saya mulai bekerja, hubungan kami
benar-benar tidak jelas. Seiring berjalannya waktu, saya merasa saya semakin
tidak diinginkan. Dan saya harus berjuang hanya untuk diperhatikan oleh orang
yang saya sangat sayangi, orang yang dulu berjanji akan menjadi suami saya.
Semua kegembiraan sudah tidak ada lagi. Dia menjadi sosok yang lain, atau
mungkin.. sosok dia yang sebenarnya.
Sebetulnya banyak masalah yang terjadi, berasal dari pribadi
masing-masing. Bukan dari perbedaan itu. Tapi perbedaan itu semakin membuat
segalanya semakin buruk. Pertanyaan saya saat itu, dan pasti pertanyaan semua
orang yang pernah mengalami situasi semacam ini adalah.. kenapa kita berbeda?
Kenapa kita tidak bisa bersama padahal kita saling menyayangi? Kenapa untuk
bisa bersama harus serumit ini? Dan jutaan ‘kenapa’ yang lain. Segala
sesuatunya menjadi sangat rumit.
Seiring berjalannya waktu, hubungan itu semakin tidak jelas.
Dia pun menghilang. Akhirnya, keluar pernyataan bahwa, dia nggak bisa ‘ikut’
saya. Dia bersedia kalau itu hanya untuk ‘legalitas pernikahan’. Tapi untuk
menjalani agama barunya dengan sepenuh hati, dia ‘tidak bisa’.
Kurang ajar. Pernyataan macam apa yang saya dengar itu.
Rasanya saya sangat muak. Bukan karena dia tidak bisa ‘ikut’ saya, tapi karena
dia tidak menepati janjinya. Toh dari awal saya nggak pernah paksa dia, tapi
malah dia yang meyakinkan saya dan bersikeras, sampai akhirnya saya percaya.
Dan akhirnya? Saat waktunya tiba, saat saya sudah sangat siap, dia malah
mengeluarkan pernyataan seperti itu.
Pertanyaannya, "Kalau emang akhirnya mau bilang enggak,
kenapa harus nunggu bertahun-tahun? Kenapa nggak dari awal aja siiiiiih? *gemeshh*
Buang-buang umur gue aja lu, njing!"
Sejak kejadian itu... (selanjutnya)
No comments:
Post a Comment