Sejak kejadian itu, orangtua saya sampai kasihan melihat keadaan saya yang depresi dan sakit-sakitan. Untungnya mereka tidak tahu ingkar janji apa saja yang sudah buat saya sedemikian menderita. Saya benar-benar terpuruk akan hubungan yang
tidak berhasil ini. Dan di masa yang sangat sulit itu, dia tidak pernah ada untuk saya. Dia bahkan tidak tahu seberapa besar dampak dari omong besarnya itu. Dia tidak pernah tahu bahwa saya berkali-kali jatuh sakit. Dia tidak pernah tahu bahwa saya benar-benar hampir menjadi gila.
tidak berhasil ini. Dan di masa yang sangat sulit itu, dia tidak pernah ada untuk saya. Dia bahkan tidak tahu seberapa besar dampak dari omong besarnya itu. Dia tidak pernah tahu bahwa saya berkali-kali jatuh sakit. Dia tidak pernah tahu bahwa saya benar-benar hampir menjadi gila.
Berkali-kali saya mencoba move on. Setiap kali saya sudah merasa baikan, dia selalu kembali datang. Ya tahu-tahu telepon lah, whatsapplah. Padahal sudah tahu hubungan ini tidak bisa dibawa kemana-mana. Dia seolah tidak mengijinkan saya untuk ‘sembuh’. Sedangkan saya? Saya merasa menjadi orang paling bodoh yang selalu memaafkan dan tidak bisa bersikap tegas. Saya hanya bisa menangis dan bertanya, kenapa dia harus datang lagi sih... *jedotin pala ke tembok*
Saya sangat tersiksa dalam kebingungan dan perasaan yang bercampur aduk. Saya.. sungguh ingin berkata tidak. Tapi saya... tidak pernah bisa. (Tears)
Setelah keputusan bahwa kami tidak akan menikah itu, dia berkali-kali masuk kembali ke kehidupan saya. Dia menggagalkan semua bata demi bata yang susah payah saya susun untuk bisa move on. Dan setelah tumpukan bata itu roboh, dia kembali pergi. Kan wadefak! Dia seenaknya datang dan pergi, hanya karena dia tahu bahwa saya tidak bisa membenci dia.....
Meski pun alasannya hanya untuk menjalin hubungan baik, dan bla bla bla.. tetap saja! Bagaimana bisa menjalin hubungan baik sebagai teman, kalau saya masih sangat mencintai dia?????? Ubun-ubun saya mendidih rasanya kalau mengingat semua itu. Sangat menyebalkan. Dasar nggak punya perasaan! Dan saya sendiri nggak punya otak. Hiks.
Tidak ada orang lain selain orang itu, yang seolah diutus oleh Yang Kuasa hanya untuk menguji iman saya. Mempermainkan saya. Menguras airmata saya. Menguatkan saya. Karena saya tidak sampai gila, tentulah saya menjadi lebih kuat. Karena hanya dua itu kemungkinannya. Saya bangkit, atau saya masuk Rumah Sakit (Jiwa). Benar-benar!
Sekarang, sudah hampir dua tahun sejak komunikasi terakhir saya dengan b*jingan itu. Saya sudah jauh lebih tenang sekarang. Saya sudah tidak marah. Sudah tidak mengumpat, tidak pula mengutuk. Saya benar-benar bisa meneguk kopi saya tanpa perlu memuntahkannya kembali saat kenangan tentang dia tiba-tiba melintas. Faktor umur juga mungkin. Udah tua gini, ngapain amat masih mikirin begituan. Udah sibuk mikirin biaya hidup.
Sekarang, saya bisa tarik nafas dalam-dalam dan dengan tulus bersyukur bahwa saya tidak pernah menikah dengan orang itu. Entah kenapa saya sangat yakin. Kalau saja setelah lulus kuliah itu saya menikah dengan dia seperti janji kami dulu, saat ini kami pasti sudah bercerai. Saya sadar, semua kebahagiaan yang dulu kami pikir akan kami dapatkan jika kami bersama, tidak lebih dari sekedar ilusi semata.
Kini saya bisa dengan besar hati menerima dan merasakan kasih sayang Sang Kuasa kepada saya. Dia sudah menghindarkan saya dari orang yang salah. Sudah sedari awal Beliau coba sadarkan, cuma sayanya aja yang nggak peka. Sampai harus jatuh berkali-kali. Hahaha. Lucu juga. Bagaimana mungkin ya seseorang bisa mencintai orang lain sampai segitunya? Sampai rela mengganti keyakinannya segala. Tuhannya aja ditinggalin, apa lagi saya...
Sejak kejadian itu, bersyukur banget saya jadi lebih taat. Yang tadinya sebel dan berdarah-darah sambil teriak WHY ME...??? Sekarang bisa senyum-senyum sendiri pernah punya hubungan seperti itu. Terlalu banyak pelajaran yang bisa saya ambil dari sana. Meski pun harus ditebus dengan rasa sakit yang minta ampun, airmata yang berember-ember, dan sakit-sakitan kayak mau mati. Hadeuh.
Pada akhirnya. Kalau ada orang yang minta pendapat saya tentang hubungan mereka yang berbeda keyakinan, saya sarankan untuk tidak diteruskan. Karena itu bukan soal perkara hidup aja, tapi gimana nanti tanggung jawab kita ke Tuhan. Mumpung belum terlalu jauh. Biar sakitnya, nggak sakit-sakit amat. Satu keyakinan aja banyak bedanya, apa lagi kalau beda? Ruwet. Sumpah.
Saat saya melihat pasangan yang beda keyakinan. Saya mungkin punya kesadaran lebih untuk tidak menghakimi mereka atau ngejudge macam-macam, karena saya pernah ada di posisi itu.
Orang yang bisa dengan keras menentang dan ngomel-ngomel berkomentar tentang pasangan beda keyakinan, itu karena mereka nggak pernah ngerasain gimana beratnya bertahan dalam perbedaan. Ya emang salah sendiri, sih. Udah tau beda, ngapain dijalanin. Cuma ya udah lah nggak usah komentar.
Saya tidak mendukung, sama sekali. Tapi saya juga tidak mau menghakimi. Semoga cerita saya ini bisa menjadi pelajaran untuk semua orang. Maaf ya kalau di artikel ini tulisan saya super serius. Hehe. Terimakasih sudah bersedia membaca salah satu kisah kehidupan saya. Terimakasih. XOXO
No comments:
Post a Comment