Artikel ini tidak ditulis oleh seorang pakar psikologi.
Artikel ini ditulis oleh seorang biasa yang pernah merasakan betapa pedihnya
bully.
Alasan umum mengapa seseorang menerima bully:
* Culun
* Bodoh
* Jelek
* Kuper
* Lemah
Di atas adalah 5 dari sekian banyak alasan mengapa seseorang
menerima bully. Tapi sebetulnya, alasan paling crusial mengapa seseorang sampai dibully adalah, dia sendiri yang mengijinkan dirinya dibully.
Misalkan saya. Ketika saya dibully karena alasan-alasan di atas
(contoh, jelek) bukan berarti saya benar-benar jelek. Lingkunganlah yang
mengatakan demikian, dengan segala standar cantik yang mereka lihat di televisi
atau di dalam pikiran mereka sendiri. Dan saya mengijinkan mereka membully saya. Karena rasa takut mau pun karena kelemahan saya. Seandainya orang pertama yang berkata buruk tentang saya, saya balas dengan bogem atau semacamnya, apakah akan ada orang kedua? Kejadian kedua?
Saat ejekan itu datang dengan tertawaan, rasa benci, dsb,
biasanya korban bully tidak memiliki siapa pun yang menguatkan mereka dan
mengatakan bahwa semua itu tidak benar. Sehingga mereka mulai percaya apa yang
dikatakan orang lain bahwa mereka itu jelek, bodoh, lemah, dsb.
Bayangkan. Di saat semua anak sibuk dengan riangnya dunia
bermain. Seorang anak yang pernah bahkan sering dibully mulai sibuk berpikir
tentang betapa tidak berharga dirinya. Itu yang membuat mereka lebih mudah
murung dan sedih.
Dalam mengatasi hal ini, peran orangtua lebih dari sekedar
penting. Di masa-masa sulit itu, saya tidak ingat sekali pun ibu atau ayah saya
pernah bertanya apa yang terjadi di sekolah. Saya juga enggan mengadu karena
takut tidak dianggap. Saya tahu mereka lelah. Tapi saat mengingat itu semua,
saya tidak bisa menyalahkan orangtua saya. Sebab saya tahu mereka tidak pernah
belajar parenting seperti orangtua modern.
Rasa sakit akibat
bully itu terbawa sampai dewasa. Saat dewasa, selalu ada dua kemungkinan.
Pertama, korban bully menjadi sangat ambisius terhadap banyak hal. Kedua,
mereka justru menganggap dunia ini gelap, kejam, tidak baik kepada mereka, dan
mereka tidak mungkin bisa baik di bidang apa pun.
Saya, termasuk yang pertama. Rasa sakit itu seperti bensin
yang disulut api di sekujur tubuh saya. Sepanjang sisa hidup saya, tidak akan
saya biarkan siapa pun merendahkan saya seperti itu lagi. Mendefiniskan diri
dan kepribadian saya. Saya tidak mau lagi. [richybelleza.blogspot.com] Saya selalu berusaha mendapatkan apa
yang saya inginkan, menjadi yang terbaik. Di atas semua itu, saya selalu ingin
menjadi orang baik. Dan sangat sakit rasanya bila melihat hal-hal yang
mengingatkan saya akan luka masa kecil itu.
Saya haus akan pengakuan. Sampai saya sadar, semua itu
melelahkan saya. Seperti ada lintah yang menghisap seluruh energi yang saya
miliki. Tidak pernah penuh, bagaimana pun energi itu diisi ulang.
Dan saya memutuskan, untuk memaafkan. Merelakan semua luka yang pernah terjadi di masa kecil
saya. Yang dengan atau tanpa sadar telah dibuat oleh orang-orang di sekitar
saya. Lagi pula mana mungkin mereka meminta maaf? Mereka bahkan tidak sadar apa
yang mereka lakukan/katakan itu menyakiti kita.
Rasanya? Tidak ikhlas. Belum ikhlas. Tapi setidaknya jauh
lebih ringan. Kalau pun saya ingin menjadi yang terbaik, mendapatkan apa yang
saya inginkan, itu semua untuk saya. Murni untuk saya. Bukan untuk membuktikan
kepada siapa pun, sebab tidak seorang pun peduli. Pada akhirnya, semua merupakan
tanggung jawab saya kepada Tuhan.
Sabarlah bila Anda saat ini masih menerima bully. Katakan
saja perasaan Anda. Katakan bahwa perbuatan/perkataan mereka menyakiti Anda. Seseorang
tidak akan mengerti sampai dia diteriaki. Jangan dipendam. Itu hati, bukan
sumur sedalam puluhan meter.
Dan bersyukurlah. Karena tidak ada orang yang diuji dengan bully yang tidak menjadi hebat. Sebaiknya
jadikan rasa sakit kita sebagai bahan bakar untuk melesat menjadi yang terbaik
dalam kehidupan yang singkat ini.
Saya, tanpa semua rasa sakit yang pernah saya rasakan, tidak
mungkin bisa melangkah sejauh sekarang. Tidak pernah merasa terpukul untuk
menjadi diri saya yang lebih baik, terbaik.
Dan untuk siapa pun yang masih senang menebar racun bully. Siapa
pun kamu. Apa pun jenis kelaminmu. Berapa pun usiamu. Dari mana pun kamu
berasal. Selamat, ya. Selamat bahwa
kehidupan kamu tidak akan baik. [richybelleza.blogspot.com] Karena ada banyak hati yang terluka dengan
ucapan/tindakan kasarmu itu. Doa hati yang terluka lebih mudah diapprove oleh
Tuhan. Pikirkan deh. Barangkali itu yang bikin hidup kamu sulit dan
menyedihkan.
Tambahan. Sebagai contoh, beberapa (bukan) teman SD yang
dulu suka ngatain saya begini-begitu. Yang gara-gara congornya itu saya sering
menangis di jalan pulang. Hidupnya sekarang begitu-begitu aja, tuh. Masa depan
mereka juga nggak bagus-bagus amat. Ada yang sudah menikah kemudian bercerai di
usia yang sangat muda, ada yang (maaf) hamil di luar nikah, ada yang
orangtuanya bercerai, dsb.
Saya tidak serta merta ngetawain mereka. Na’udzubillah. Saya
cerita begini hanya untuk menunjukkan bahwa kita nggak minta mereka dapat
balasan pun, mereka dibalas. Bahkan dengan cara-cara yang lebih kejam yang kita
sendiri nggak kepikiran. Jadi santai aja, bro. Rileks aja, sist. Kita semua ada
yang jagain. Yang nggak akan tinggal diam kalau kita dilukain.
Mungkin itu sebabnya kenapa korban bully lebih banyak yang
sukses. Meski pun kecilnya culun dan nggak banget. Tapi mereka pasti cerdas. Setidaknya
cerdas untuk tidak membalas. Menangis tanpa mengemis belas kasihan. Hanya bersimpuh
mengharap perlindungan Tuhan.
Dan mungkin itu pula sebabnya, mengapa yang suka ngebully hidupnya
cenderung berantakan. Hayo kenapa? Nggak perlu dijelasin lagi lah, ya. Kita
doain aja semoga mereka insyaf.
"Sampai Kapan pun, Nobita akan selalu lebih beruntung dari Giant."
![]() |
Mengapa Aku Terlahir Culun: Menyembuhkan ‘Luka’ Akibat Bully |
Kalau kita sudah sampai di satu titik dimana kita bisa
mensyukuri bahwa kita pernah banyak terluka. Semoga itu tanda bahwa kita sudah
sembuh. Kehidupan akan semakin baik. Dan semoga kita semakin dekat dan disayang
oleh-Nya.
Semoga menginspirasi.
XOXO,
Richy
No comments:
Post a Comment